Quand a Paris, Sois Comme Parisien – Saat di Paris, Jadilah Seperti Orang Paris.
Pameo tersebut sebenarnya berlaku di semua daerah dan tidak hanya di Paris. Namun karena banyak kisah negatif mulai dari scam, copet, hingga palak di Paris, sementara saya sendiri kebetulan sedang studi di Prancis, baru balik ke Indonesia, dan tahun depan balik lagi ke Perancis, saya sedikit ingin berbagi cerita untuk meminimalisir potensi dikerjain di Paris.
Masukan saya bersifat praktis dan cocok untuk orang dengan: (1) Anggaran pas-pasan; (2) Keinginan merasakan suasana Paris yang jauh dari kumpulan turis; (3) Keinginan merasa aman di Paris.
(1) Anggaran Pas-Pasan
Sebaiknya siapkan perencanaan sejak di Indonesia, mulai dari cek besaran biaya hidup di Prancis, tinggal di bagian mana dari kota, hingga bagaimana cara bepergian semurah mungkin.
Sebagai contoh, saya sejak belum mendarat di Prancis sudah punya tujuan berikut:
1. Tinggal di daerah yang dekat transportasi publik (misal: stasiun metro, stasiun trem, halte bus, dst).
2. Langsung beli kartu transportasi publik saat tiba di suatu kota.
Contoh berbasis penelusuran pra-keberangkatan ke Prancis, saya tahu bahwa di bandara CDG ada loket penjualan kartu Navigo dan di semua stasiun di Paris ada mesin layan mandiri pembelian kartu, isi ulang kartu, dan beli tiket. Maka setiba di CDG T2, saya langsung beli kartu Navigo dan beli akses langganan.
Pilihan akses langganan ada yang seminggu, sebulan, hingga setahun, jangkauan wilayah, hingga varian moda transportasi.
3. Tinggal dekat Carrefour. Alasannya biar gampang tinggal jalan kaki beli barang kebutuhan sehari-hari, khususnya “bon plan”, dan masak sendiri tiap hari biar serba murah.
(2) Keinginan Merasakan Suasana Paris yang Jauh dari Kumpulan Turis
Kartu Navigo yang saya miliki benar-benar menyelamatkan saya dari potensi kantong jebol sejak malam pertama mendarat di Paris. Mau naik RER, trem, metro, sampai bus, biayanya tetap. Dengan Navigo pula saya mengunjungi titik-titik seperti Pantheon, Châtelet les Halles, dll, yang relatif jarang turis.
Rajin naik metro, trem, dan bus, tiap hari juga membuat kita lebih menyelami kehidupan Parisiens, apalagi kalau kita naik pas jam berangkat dan pulang kerja, termasuk baru pulang jam 22 ke atas.
Gunakan pula aplikasi seperti Moovit dan Citymapper agar memudahkan mobilitas kita.
(3) Keinginan Merasa Aman di Paris
1. Hindari berpakaian seperti turis. Sekalinya kita berpakaian seperti turis dan bertingkah seperti turis, potensi menjadi sasaran scam dan tindak kriminal lainnya meningkat. Orang-orang Indonesia, maaf saja, sangat banyak yang berpakaian dan berperilaku seperti turis, misal saat mengunjungi Eiffel, Champs-Elysees, dan Louvre.
2. Bisa dikit-dikit Prancis memudahkan banyak hal. Saya baru intensif belajar Bahasa Prancis tahun ini secara otodidak. Pemahaman jelas masih jelek, namun kejelekan itu bisa dipahami petugas loket, petugas bandara, dan Parisiens lainnya.
Saya merasa jauh lebih dihargai saat ngomong Prancis, meski jelek, daripada Inggris total. Bahkan ada turis India dan Filipina ngira saya Parisien dengan tanya-tanya tujuan pakai Bahasa Inggris didahului “Bonjour”.
3. Hindari transaksi dengan uang tunai. Saya nol transaksi tunai di Prancis dan rutin memakai kartu logo Visa. Alasan awalnya karena Uni Eropa semakin nirtunai sejak pandemi C19. Alasan lanjutan karena merasa lebih aman kalau tidak bawa tunai.
4. Miliki kehidupan sosial dengan orang lokal, misal ngebar, kencan, dst. Saya sempat ngebar dengan Parisiens sambil nonton Piala Dunia. Kalau pengen kencan, gunakan Tinder yang populer. Saya bisa kok match ama cewek bule Paris cantik, lebih tinggi dari saya, langsing, dan dia duluan malah yang kirim pesan di Tinder, terus ngajak kencan yang didahului makan bareng di restoran.
Catatan penutup: Saya merasa aman dan nyaman meski tiba di CDG jam 21.00 dan baru sampai apartemen jam 23.00 dengan RER dan Metro. Saya merasa aman dan nyaman meski beberapa kali pulang jam 21.00 ke atas menggunakan Metro. Meski ngelakuin tiga tips di atas, potensi dikerjain atau kena scam tetap ada.
Contoh saat saya lewat Eiffel, ngga masuk lho, saya disamperin peminta tanda tangan pakai Bahasa Inggris. Saya langsung jawab, “Je ne parle pas L’Anglais. Je toi ne comprends pas.” Eh, dia malah merepet balas pakai Prancis. Ya sudah. Saya tetap melengos sambil, “Non, non, et non.”